Siri' secara mendalam juga bisa bermakna harga diri.
sedang pacce berarti kemiskinan, kepedihan dan penderitaan.
Dalam masyarakat Sulsel, adalah hal yang sangat dilematis apabila bertemu dua hal itu, yakni antara tuntutan untuk mengatasi kemiskinan dan penderitaan di satu sisi dengan tuntutan untuk tetap menjaga harga diri di sisi yang lain.
Orang2 Bugis Makassar yang berbudaya tinggi akan memilih bertahan dalam penderitaan (pacce) demi menjaga harga diri (siri).
Mereka akan rela melepas sesuatu yg mereka cintai demi harga diri.
Salah satu contoh yg masih jamak di masyarakat Sulsel adalah sbb:
Dalam masyarakat Bugis Makassar seorang istri yang minggat dari rumah dalam keadaan marah adalah hal yang sangat tabu. Demikian juga suami yang mengusir istrinya dari rumah.
Jadi apapun konflik rmh tangga yang terjadi istri tdk boleh pergi meninggalkan rumah, kalaupun harus ada yg pergi maka suami lah yg harus pergi meskipun rumah dan seluruh isinya adalah milik suami pribadi.
Kalaupun istri yg harus pergi maka mesti diantar oleh suami (misalnya ke rumah orang tua istri smntara).
Apabila suami mengusir istri dari rumah, atau istri minggat dari rumah berarti perceraian haruslah terjadi meskipun konfliknya sudah reda.
Adalah merupakan SIRI apabila:
1. Istri kembali sndiri ke rumah setelah diusir / disuruh pergi oleh suaminya. Jika dia tetap melakukan itu maka dia dan keluarganya seolah telah menjadi budak atas suaminya.
2. Suami menjemput istrinya yang minggat / pergi tanpa restu suami. Jika dia tetap melakukan itu maka harga diri suatu dan keluarganya jatuh dimata istri.
Nah...! disinilah PACCE-nya, yaitu apabila hal itu benar2 terjadi hanya karena emosi sesaat, dan mereka tdk menginginkan bersama karena masih saling mencintai dan tdk ingin cerai di saat konflik sudah reda.
Namun spt yg saya katakan tadi, orang Bugis Makassar yg menjunjung tinggi budayanya akan lebih memilih PACCE daripada harus mengorbankan SIRI.
Jadi apabila seorang istri minggat dari rumah ketika bertengkar dan marah maka suami akan memilih cerai daripada harus menjemut istrinya, sekalipun dia masih sangat mencintai istrinya, dan demikian sebaliknya.
Inilah salah satu contoh konflik SIRI na PACCE.
Dan masih banyak lagi contoh2 lain yg lebih tragis...
Manusia Bugis-Makassar sangat menyadari dirinya sebagai bagian dari sesamanya manusia, yang hanya dapat mengaktualisasikan dirinya jika ada manusia lain di sisinya Kesadaran sipakatau lahir dari karakter yang dimiliki oleh manusia Bugis-Makassar, yaitu karakter siri’ na pesse’. Siri’ na pesse’ merupakan pandangan hidup masyarakat Bugis-Makassar. Siri’ dalam bahasa Bugis, Makassar dan Toraja berarti “malu.” Namun bukan malu dalam pengertian umum, melainkan malu yang mengandung dua makna, yakni malu dan harga diri. Nilai malu dalam sistem
budaya siri’ mengandung ungkapan psikis sebagai perasaan malu karena seseorang telah berbuat sesuatu yang tidak baik dan dilarang oleh kaidah adat.
Malu karena tidak melakukan hal yang baik; hal ini berarti bahwa malu yang dirasakan seseorang terkait dengan rasa bersalah karena tidak melakukan kebaikan. Nilai kedua yang juga terdapat dalam nilai siri’ adalah harga diri atau martabat. “Nilai harga diri (martabat) merupakan sebuah pranata pertahanan psikis terhadap perbuatan yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat.” Pribadi yang memiliki siri’ memiliki suatu kewajiban moral untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi membela siri’ keluarga atau komunitas. Oleh karena itu, siri’ membuat orang tidak hidu
p dengan dirinya sendiri, melainkan harus berwujud dalam tindakan nyata menurut nilai pesse’.
Pesse’ secara harafiah berarti “pedih atau perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang, karena melihat penderitaan orang lain. Ringkasnya, pesse’ adalah bela rasa. Pesse (Bugis) atau pacce (Makassar) berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pembersamaan serta pemuliaan humanitas.
onsep pesse’ tidak lain adalah suatu pengungkapan empati dan solidaritas terhadap penderitaan orang lain. Pesse’ memotivasi sikap nyata kesetiakawanan sosial suku Bugis-Makassar.Solidaritas yang dimaksud adalah solidaritas yang diterapkan dengan tidak memandang bulu, tidak memandang suku maupun ras bahkan agama. Prinsip ini menjadi pemersatu dan pengikat-erat masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari beragam suku, bahasa, adat istiadat dan agama, karena nilai budaya siri’ na pesse’ dipegang teguh oleh semua orang apapun agamanya, selagi dia bagian anggota masyarakat Sulawesi Selatan.
Sebagai sebuah nilai budaya, siri’ na pesse’ tidak luput dari penafsiran. Bagai sebuah pedang bermata dua, jika nilai ini disalahartikan, ini akan berakibat buruk bagi masyarakat setempat maupun bagi orang lain di luarnya. Misalnya, sebagai alasan mempertahankan harga diri, karena telah malu, seseorang akan nekad untuk membunuh orang lain yang telah membuat dirinya malu. Meskipun bisa hanya karena suatu perasaan malu yang sepele. Dikatakan salah tafsir, karena siri’ na pesse’ yang seharusnya adalah siri’ na pesse’ yang timbul dari kesadaran yang jernih, yang memakai akal sehat dan tanpa amarah.
Kedua nilai ini, siri’ dan pesse’, menyatu dalam kesadaran mengenai
makna atau kualitas dari apa yang disebut manusia (tau), yang hanya mungkin mengaktualisasi dirinya karena ada manusia lain. Oleh karena itu kehadiran manusia lain sangat berarti. Kesadaran itu disebut Sipakatau.”
Kesimpulan Tanpa kaidah moralitas yang jelas, tanpa nilai-nilai luhur yang diterima bersama, tanpa komitmen pada martabat kemanusiaan semua orang, pluralitas bisa berubah menjadi ajang persaingan dan pertikaian antara pihak-pihak yang berbeda, yang bisa mendatangkan kehancuran suatu masyarakat.
Pluralitas dalam dunia keagamaan malah bisa lebih potensial lagi menghancurkan kesatuan um
at manusia. Tentu agama-agama bisa menyumbangkan kaidah-kaidah moral dan nilai-nilai luhurnya untuk menjadikan pluralisme keagamaan suatu kebaikan buat umat manusia. Namun, tidak dapat diabaikan bahwa kebudayaan-kebudayaan lokal juga memiliki kearifan-kearifan lokal yang tak kalah mutu dan kekuatannya dalam menjadikan pluralisme sebagai suatu kebaikan dan peluang untuk umat manusia lebih mampu membangun dunia ini demi kebaikan semua orang di dalamnya.
Filosofi sipakatau dan nilai-nilai siri’ na pesse’ telah membuktikan kegunaannya dalam menjadikan kemajemukan masyarakat Bugis-Makassar sebagai suatu kebaikan, dan bukan sebagai suatu keburukan yang akan menghancurkan masyarakat.
Dalam sebuah FTV di salah satu stasiun televisi nasional ada sebuah kisah yang bertemakan siri’ budaya Bugis Makassar judulnya “Badik Titipan Ayah”
Badik merupakan senjata yang sering digunakan oleh masyarakat Bugis Makassar, konon kabarnya dari badik atau sele’ inilah sehingga kita mengenal sebutan Celebes untuk pulau Sulawesi
Sulawesi dulu disebut Celebes oleh Belanda. konon berasal dari kata Sele' Bessi (badik besi - bahasa bugis).
Konon dahulu waktu orang Belanda datang, dia bertemu dengan seorang pribumi yang sedang attompang sele' alias badik (merawat badik dengan menggunakan jerus nipis)*.
Ketika itu orang Belanda bertanya: "Apa nama daerah ini?"
Tapi karena bahasanya kurang nyambung, pribumi yg ditanya mengira dia ditanya "apa nama benda yg kamu pegang itu?"
Maka dengan enteng Sang Pribumi menjawab: "Sele' Bessi"
Nah... dari kata Sele' Bessi inilah terbentuk kata Celebes alias Sulawesi...
Badik atau Sele' itu tidak pernah diasah karena bisa merusak pamoro'na (ukiran urat-urat besi pada badik). Maka untuk menajamkan dan membersihkan karatannya digunakan jerus nipis. Kegiatan membersihkan badik dengan jeruk nipis ini disebut "Attompang" atau"Mattompang".
Pamoro' (pamor) itu sendiri konon ada maknanya dan kadang dipercaya memberikan efek magis tertentu pada pemiliknya, sehingga terkadang badik itu digunakan juga sebagai jimat.
Misalnya ada yg namanya pamoro' sikadoi, dimana orang yang membawa2 badik yang ber-pamoro' sikadoi akan disenangi oleh lawan jenis
Makanya banyak anak muda di kampung yang mencari2 badik pamoro' sikadoi itu yg konon sangat langka
Yg jelas Bugis Makassar umumnya pake senjata tajam (badi', sele', dkk) kalo berkelahi karena kalo urusannya sudah menyangkut siri' maka harus"dituntaskan". Mungkin hal ini ada korelasinya dengan semboyan Kualleangi Tallanga Natowalia. Pada lambang daerah Sulawesi Selatan ada tulisan lontara berbahasa Makassar dibawah gambar perahu khas Phinisi. Tertulis:
"Kualleangi Tallanga Natowalia" Lalu diterjemahkan bebas menjadi : "Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai"
Namun arti sebenarnya kata "Kualleangi Tallanga Natowalia" adalah "Lebih Kupilih Tenggelam (di lautan) daripada Harus Kembali Lagi (ke pantai)". Sudah menjadi hal yang biasa (budaya) membawa badi' kemana-mana sampe adanya aturan yang melarang membawa senjata tajam tanpa alasan yg bisa diterima.
Spesial Terima KAsih Buat Kaskus